Profile
▼
Kamis, 20 Oktober 2011
Mengenang Steve Jobs ''The Creator of Values''
Artikel ini ditulis dengan rasa berduka, karena Jobs adalah salah satu idola saya. Majalah Time merilis edisi obituari Steve Jobs, hanya kurang dari 24 jam setelah Apple.com mengumumkan berita duka cita kematian beliau.
Walter Isaacson, penulis authorized biography dari Jobs, menulis feature article untuk menghormatinya. Direncanakan, authorized biography Jobs akan terbit pada tanggal 24 Oktober ini.
Namun, segera setelah Jobs meninggal, banyak suara ‘sumbang’ yang mengkritisi sepak terjangnya. Adil dan proporsional kah kritik-kritik tersebut? Mari kita simak di kajian kritis ini!
Jobs adalah ‘The Creator of Values’
Menurut Nietzche, manusia yang paling hebat adalah dia yang menjadi ‘The Creator of Values’. Apakah ini?
Para ‘Creator’ adalah dia yang berhasil mendefinisikan nilai-nilai moral, di mana para pengikutnya akan mengadopsi nilai-nilai tersebut.
Seorang ‘Creator’ adalah independen, dalam arti dia tidak ‘disetir’ oleh ‘values’ dari orang lain, walaupun sangat mungkin dipengaruhi olehnya. Seorang ‘Creator’ tidaklah harus menciptakan sesuatu dari ketiadaan, namun dapat juga mengolah sesuatu dari yang telah ada.
Steve Jobs adalah ‘The Creator of Values’, yang merupakan dimensi kemanusiaan tertinggi menurut Nietzche. Jobs berbeda dengan seorang Napoleon Bonaparte, karena dia tidak peduli dengan kekuasaan. Jobs juga tidak pernah tertarik menjadi seorang ‘Pahlawan’ seperti Hercules, Jendral Rommel, atau Jendral Patton, karena dia selalu tampil apa adanya.
Dia hanya sibuk mengerjakan apa yang dia sukai, yaitu mengembangkan dunia IT yang sangat ia cintai. Jobs adalah ‘Creator of values’ yang sesungguhnya.
Produk Apple seperti Macintosh, ipod, iphone, dan ipad, telah menjadi ‘trend setter’ yang diikuti oleh dunia IT secara khusus, dan retail secara umum.
Kontroversi Steve Jobs
Beberapa media barat menyamakan Steve Jobs dengan Henry Ford. Padahal, penyetaraan itu menyiratkan suatu kontroversi. Steve Jobs dikritik pedas dengan kasus FoxConn, di mana pekerjanya underpaid dan kerja dalam kondisi yang buruk, sementara Henry Ford jauh lebih ekstrim lagi. Henry Ford adalah tokoh kontroversial, karena dia diduga berkolaborasi dengan Nazi Jerman.
Jobs dituduh juga sebagai ‘pelit’, karena berbeda dengan Bill Gates dan Warren Buffet yang philantropis, Jobs tidak pernah dikenal sebagai dermawan. Tuduhan itu tidak adil, karena Jobs sendiri tidak pernah diklarifikasi secara langsung.
Jika kita asumsikan Jobs mengetahui kasus FoxConn, media sama sekali tidak pernah mengangkat tindakan apa yang dilakukan Jobs untuk memperbaiki keadaan. Boleh jadi Jobs sudah melakukan tindakan perbaikan, namun tidak pernah dipublikasi.
Kasus absennya Jobs dari daftar para philantropis pun juga sama sekali bukan justifikasi bahwa dia ‘pelit’. Sudah jamak dalam dunia philantropis, bahwa sumbangan bisa diberikan secara anonim. Hal ini bisa saja dilakukan oleh Jobs, walaupun kita tidak akan pernah tahu.
Di tanah air, salah satu contoh yang jamak adalah nama anonim ‘Hamba Allah’ , pada daftar penyumbang di Masjid atau tempat lainnya.
Salah satu hal menarik yang tidak pernah diangkat media, adalah komitmen Jobs untuk memperbaiki regulasi transplantasi organ di California. Jobs, yang menerima transplantasi liver dari negara bagian lain, sangat menyadari dan bersyukur bahwa kekayaan dia memudahkannya untuk mencari transplantasi liver ke negara bagian lain.
Privelese ini tidak dimiliki oleh sebagian besar warga California, yang memang tidak mampu. Oleh karena itu, Jobs membujuk Gubernur California saat itu, Arnold Schwarzenegger, untuk menggolkan undang-undang yang mempermudah pemohon transplantasi untuk memperoleh prioritas.
Ketidakadilan yang banyak dirasakan oleh aktivis Open Source, adalah luputnya kematian Dennis Ritchie, pencipta bahasa C dan Co-devoloper Unix, yang sangat minim disorot media. Hal ini karena Jobs dan Ritchie meninggal pada saat yang bersamaan.
Di dunia akademik, tidak ada satu orangpun yang berani mendebat pengaruh Ritchie, karena banyak aplikasi scientific yang dikembangkan menggunakan Bahasa C ataupun turunannya seperti C++ dan Java, dan juga kuatnya pengaruh UNIX/UNIX-like(Linux) pada para akademisi/ilmuwan. Namun di dunia retail/komersial sangat jarang yang mengetahui siapakah Dennis Ritchie.
Kasus ini juga terjadi dengan beberapa peraih Nobel, contohnya John Nash, yang meraih Nobel Ekonomi dan kisah hidupnya sudah difilmkan. Dibandingkan Direktur Bank of America atau Direktur Deutsche Bank, jelas tidak banyak yang mengenal seorang Nash di dunia perbankan/finance. John Nash masihlah seorang Guru Besar biasa, yang mengajar di perguruan tinggi sampai sekarang ini dan tidak pernah menjadi selebritis.
Kembali lagi, mengapa seorang Jobs bisa jauh lebih populer daripada Ritchie, hal itu tidak lepas dari kegagalan popularisasi sains di negara barat. Popularisasi Sains bukanlah masalah negeri kita saja, namun juga terjadi di negara barat.
Jobs sepertinya menyadari betul, bahwa popularisasi adalah sesuatu yang esensial. Oleh karena itu, hampir apapun yang diproduksi Apple menjadi hit, karena dibungkus oleh usaha popularisasi ke publik.
Sayangnya memang, prakarsa popularisasi ini hanya menjadi milik korporasi tertentu, dalam hal ini Apple, dan hampir absen di dunia akademik/penelitian. Itupun, tidak semua korporasi IT yang mampu mengintegrasikan produknya dengan budaya pop sebaik Apple.
Memang dalam hal ini, peran media sangat diharapkan untuk lebih mempopulerkan sains kepada publik, agar Dennis Ritchie ataupun ‘suhu-suhu’ IT lain juga mendapatkan penghormatan yang sepantasnya.
Steve Wozniak, co-founder Apple selain Steve Jobs, juga sering luput dari liputan media. Padahal, peran Wozniak dalam mendirikan Apple tidak kalah pentingnya dengan Jobs sendiri.
Steve Jobs dan Penilaian Moral
Sangat tidak adil, jika menilai pengaruh seorang tokoh hanyalah berdasarkan pertimbangan moral yang kaku, yang bisa jadi ‘tidak bebas nilai’.
Steve Jobs adalah seorang manusia biasa, yang sudah pasti memiliki banyak kekurangan. Tidak ada seorangpun yang sempurna di dunia ini, termasuk Steve Jobs.
Namun, sebagai penghormatan anumerta, ada baiknya kita lebih mengutamakan apa saja sumbangan positif dia pada dunia yang fana ini. Berprasangka baik dalam konteks ini akan memberikan keadilan bagi Steve Jobs, terutama bagi keluarga besar Apple yang dia tinggalkan.
Saya setuju dengan beberapa media barat, bahwa terlepas dari moral judgement yang disuarakan beberapa kalangan, Steve Jobs sangat pantas untuk disandingkan dengan entrepreneur besar seperti Henry Ford dan Thomas Alfa Edison.
Dalam semangat Nietzchean, mereka adalah ‘The Creator of Values’ sejati. Adieu Steve...
Senin, 17 Oktober 2011
Persaingan Antarpenegak Hukum
Meski KPK memang diartikan sebagai leading sector penegakan hukum
antikorupsi, bukan berarti mereka tidak punya kewajiban membentuk pola
kerja sama yang baik dengan lembaga penegak hukum lainnya. Dari segi
sumber daya, KPK bisa kita katakan sebagai lembaga luar biasa dengan
kemampuan kelembagaan yang terbatas.
Mustahil rasanya berharap pada KPK semata, tanpa mendorong perbaikan
pada kejaksaan dan kepolisian."
SALAH satu teori hukum yang mendasari dibuatnya beberapa lembaga untuk
menangani satu hal yang sama ialah harapan terciptanya kompetisi
antarlembaga penegak hukum. Dengan demikian, tercipta semacam persaingan
dalam rangka membuat mereka benar-benar mengerjakan tugas dengan baik
dan mereka pun akan berlomba-lomba untuk menegakkan hukum.
Dalam analisis itulah negara menciptakan semacam persaingan antarlembaga
penegak hukum untuk mengikis penyakit di negeri ini, yakni korupsi.
Korupsi yang berurat dan berakar kuat dalam sistem pemerintahan kita
menyiratkan pentingnya pembuatan lembaga-lembaga yang ikut mendorong
penegakan hukum. Mereka bisa bersaing untuk memberantas korupsi.
Dalam konsep bersaingan itulah mereka bisa saling `sontek' soal upaya
pemberantasan korupsi. KPK, kepolisian, dan kejaksaan pun mengalami hal
yang sama.
Masih dalam cara pandang hukum, ada pula teori yang mengaitkan keinginan
untuk membangun koordinasi dan kerja sama di balik beberapa lembaga yang
mengerjakan hal yang sama. Meski berbeda, tujuan dari hal itu sama,
yakni mendorong penegakan hukum menjadi lebih cepat melalui kerja sama
di antara lembaga-lembaga yang ada. Jika kompetisi dilakukan demi
prestasi penegakan hukum, koordinasi juga dilakukan demi kesatuan
prestasi penegakan hukum, termasuk penegakan hukum antikorupsi.
Karenanya, meski secara teori keduanya kelihatan berlawanan,
sesungguhnya tidak dalam praktik. Mereka akan berlomba untuk menunjukkan
hasil yang luar biasa dan akan bekerja sama dalam melawan musuh yang
luar biasa.
Cara pandang penegakan hukum antikorupsi kemudian hadir melalui
keduanya. Lihat saja bila ketiga lembaga itu diberi kewenangan untuk
menggasak korupsi. Meski begitu, harus ada catatan dengan garis tebal
bahwa KPK, yang diciptakan paling terakhir, diberi kewenangan (plus
harapan) untuk memberikan contoh (trigger mechanism) yang bisa menjadi
batu loncatan bagi perbaikan kejaksaan dan kepolisian. Melalui hal
tersebut diharapkan, kejaksaan dan kepolisian kemudian terpacu untuk
berprestasi atas kinerja prestisius yang dilakukan KPK. Ke depan, itu
menjadi semacam pemicu bagi me reka untuk segera menunjukkan prestasi
agar KPK tidak perlu terlalu lama memberikan citra trigger mechanism
yang diperintahkan undangundang. Pada saat yang sama, jika ada hambatan,
mereka akan bekerja sama dalam menyelesaikannya.
Konfrontasi Sayangnya, citra ideal itu tidak terlaksana. Alih-alih
berkompetisi dalam prestasi, yang tercipta malah konfrontasi dalam
menegaskan prestasi. Alihalih bekerja sama, yang tercipta malah saling
menjatuhkan. Dalam banyak perkara, kepolisian dan kejaksaan seakan tidak
bekerja dalam konteks pemberantasan korupsi, tetapi malah memberantas
antikorupsi. Kasus cicak vs buaya yang dulu pernah muncul paling tidak
bisa merepresentasikan hal itu.
Tidak selesai di situ, dalam banyak perkara, percepatan pemberantasan
korupsi terhambat oleh ketiadaan kerelaan untuk sebuah kompetisi sehat
demi prestasi penegakan hukum.
Begitu juga untuk koordinasi. Misalnya, salah satu penyakit dalam upaya
koordinasi dan supervisi. KPK sering kali gagal melakukan koordinasi dan
supervisi karena tidak ada kerelaan dari kepolisian dan kejaksaan untuk
membuka diri dan keinginan bekerja sama dalam penegakan hukum
antikorupsi. Dalam banyak perkara, itu terjadi dengan kekerapan yang
tinggi dan belum mampu dikontrol.
Boleh jadi, al itu makin menjadi karena lembaga-lembaga yang ada sebagai
penyokong penegakan hukum malah ikut memberikan kesan konfrontasi yang
mendalam. Pernyataan keliru, dari beberapa petinggi DPR yang
berkeinginan membubarkan KPK, boleh jadi merupakan simbol ketidakpahaman
terhadap teori kompetisi dan kerja sama diba lik lembaga-lembaga penegak
hukum yang berada pada koridor yang sama.
Kepentingan politik juga merupakan distorsi model penegakan hukum yang
se harusnya berkompetisi dan pada saat yang sama harus ada kerja sama.
Para peting gi politik yang memegang kekuasaan sebagai peja bat negara
sering kali memainkan faktor kekuasaan untuk menyetir lemba ga pene gak
hu kum yang menghambat kepentingan penguasa.
Dalam kasus Nazaruddin mi salnya, tentu terjadi keanehan.
Dalam beragam kesempatan, terlihat benar jika tidak tercipta koordinasi.
Beberapa informasi kemudian tidak sampai ke KPK. Bahkan, ketika sampai,
informasi itu sering kali telat. Isi pernyataan Kapolri pun berbeda jauh
dari penyataan Menteri Hukum dan HAM yang membicarakan penjemputan
Nazaruddin di luar negeri.
Atau, ketika KPK sangat telat mengetahui Nazaruddin telah berpindah
tempat dan tidak lagi di Singapura. Boleh jadi, andai bukan pernyataan
Kemenlu Singapura yang membukanya secara terang benderang, KPK tak
kunjung diberi tahu soal perpindahan Nazaruddin, meski hal itu telah
diberitahukan kepada pemerintah Indonesia.
Kita tentunya kembali mengulang pertanyaan klasik perihal ada tidaknya
koordinasi dan kerja sama sekaligus kompetisi dalam menegakkan hukum,
jika pada saat sama yang tercipta ialah kebingungan dan ketiadaan
informasi bagi lembaga yang diidealkan bekerja untuk memberantas
korupsi. Mudah merumuskan bahwa ada yang tidak tepat dalam konteks kerja
sama dan kompetisi yang tidak sehat antarlembaga penegakan hukum. Lebih
miris lagi, kegagalan penegakan itu juga disebabkan lembaga penegakan
hukum yang tidak bekerja secara optimal, tertata, efektif, dan efisien.
Momentum perbaikan Tentu ada banyak momentum perbaikan yang bisa dilaku
kan untuk menguatkan kembali tujuan kompetisi dan kerja sama tersebut.
Dua di antaranya tentu saja momentum pergantian komisioner KPK dan
rencana revisi UU KPK yang ada saat ini.
Perihal per gantian komi sioner, tentu tidak bisa tidak dilaku kan,
sehingga ada harapan bagi komisioner baru untuk kembali memolakan model
program kerja sama dan tata kelola kompetisi antarlembaga penegak hukum.
Meski KPK memang ditahbiskan sebagai leading sector penegakan hukum
antikorupsi, bukan berarti mereka tidak punya kewajiban membentuk pola
kerja sama yang baik dengan lembaga penegak hukum lainnya. Dari segi
sumber daya, KPK bisa kita katakan seba gai lembaga luar biasa dengan
kemampuan kelembagaan yang terbatas. Mustahil ra sanya berharap pada KPK
semata, tanpa mendo rong per baikan pada kejaksaan dan kepolisian.
Sebab, dalam konsep kerja sama dan kompetisi, mereka harus bekerja sama
untuk saling menguatkan dan berkompetisi untuk menyelesaikan semua
persoalan korupsi yang ada.
Pergantian komisioner bisa menjadi momentum perbaikan hal-hal yang belum
terkelola dengan baik. Karenanya, Pansel KPK pun harus membacanya secara
jeli untuk memilih orang yang mampu mengawal pola kerja sama tersebut.
Namun, hal itu bukan berarti diterjemahkan dengan meloloskan kandidat
kejaksaan dan kepolisian untuk komisioner KPK, melainkan harus
diterjemahkan sebagai pemilihan orang yang pas dalam kerangka membangun
kompetisi dan kerja sama antarlembaga. Hal yang mustahil dilupakan ialah
momentum perubahan UU KPK. Jika memang harus dilaksanakan sebagai bagian
dari upaya sinkronisasi semua aturan penegakan hukum antikorupsi,
perbaikan menuju ke arah kompetisi dan kerja sama yang baik harus
diupayakan secara maksimal.
Independensi penyidik KPK sangatlah penting. Hal tersebut menjadi
prasyarat mutlak bagi terciptanya kerja sama antarlembaga yang
diinginkan dalam kewenang an koordinasi dan supervisi.
Namun, lagi-lagi keduanya punya peluang terbajak oleh kekuatan politik.
Seleksi komisioner berpeluang terbajak oleh kekuatan politik melalui fit
and proper test. Kita sering kali khawatir dengan DPR yang bukannya
memilih kandidat yang terbaik dan jempolan, melainkan malah menyembelihnya.
Begitu juga upaya revisi UU KPK.
Ada kekhawatiran besar bila kekuatan politik bukannya mengagregasi
fungsi dan daya jelajah KPK, melainkan malah menjinakkan kewenangan KPK.
Karena itu, kerja keras tetap harus dilakukan. Publik harus mengawal
proses seleksi yang dilakukan KPK maupun proses amendemen UU KPK. Dari
situ, harapan terciptanya tujuan dari kompetisi dan kerja sama
antarlembaga penegak hukum dalam menegakkan hukum antikorupsi akan
terlaksana. Bila hal tersebut gagal dilakukan, tentu saja akan menjadi
penanda bahwa kita makin terpuruk dalam citra penegakan hukum.
=Zainal Arifin Mochtar Pengajar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum UGM
Yogyakarta dan Direktur Pukat Korupsi FH UGM Yogyakartagn
antikorupsi, bukan berarti mereka tidak punya kewajiban membentuk pola
kerja sama yang baik dengan lembaga penegak hukum lainnya. Dari segi
sumber daya, KPK bisa kita katakan sebagai lembaga luar biasa dengan
kemampuan kelembagaan yang terbatas.
Mustahil rasanya berharap pada KPK semata, tanpa mendorong perbaikan
pada kejaksaan dan kepolisian."
SALAH satu teori hukum yang mendasari dibuatnya beberapa lembaga untuk
menangani satu hal yang sama ialah harapan terciptanya kompetisi
antarlembaga penegak hukum. Dengan demikian, tercipta semacam persaingan
dalam rangka membuat mereka benar-benar mengerjakan tugas dengan baik
dan mereka pun akan berlomba-lomba untuk menegakkan hukum.
Dalam analisis itulah negara menciptakan semacam persaingan antarlembaga
penegak hukum untuk mengikis penyakit di negeri ini, yakni korupsi.
Korupsi yang berurat dan berakar kuat dalam sistem pemerintahan kita
menyiratkan pentingnya pembuatan lembaga-lembaga yang ikut mendorong
penegakan hukum. Mereka bisa bersaing untuk memberantas korupsi.
Dalam konsep bersaingan itulah mereka bisa saling `sontek' soal upaya
pemberantasan korupsi. KPK, kepolisian, dan kejaksaan pun mengalami hal
yang sama.
Masih dalam cara pandang hukum, ada pula teori yang mengaitkan keinginan
untuk membangun koordinasi dan kerja sama di balik beberapa lembaga yang
mengerjakan hal yang sama. Meski berbeda, tujuan dari hal itu sama,
yakni mendorong penegakan hukum menjadi lebih cepat melalui kerja sama
di antara lembaga-lembaga yang ada. Jika kompetisi dilakukan demi
prestasi penegakan hukum, koordinasi juga dilakukan demi kesatuan
prestasi penegakan hukum, termasuk penegakan hukum antikorupsi.
Karenanya, meski secara teori keduanya kelihatan berlawanan,
sesungguhnya tidak dalam praktik. Mereka akan berlomba untuk menunjukkan
hasil yang luar biasa dan akan bekerja sama dalam melawan musuh yang
luar biasa.
Cara pandang penegakan hukum antikorupsi kemudian hadir melalui
keduanya. Lihat saja bila ketiga lembaga itu diberi kewenangan untuk
menggasak korupsi. Meski begitu, harus ada catatan dengan garis tebal
bahwa KPK, yang diciptakan paling terakhir, diberi kewenangan (plus
harapan) untuk memberikan contoh (trigger mechanism) yang bisa menjadi
batu loncatan bagi perbaikan kejaksaan dan kepolisian. Melalui hal
tersebut diharapkan, kejaksaan dan kepolisian kemudian terpacu untuk
berprestasi atas kinerja prestisius yang dilakukan KPK. Ke depan, itu
menjadi semacam pemicu bagi me reka untuk segera menunjukkan prestasi
agar KPK tidak perlu terlalu lama memberikan citra trigger mechanism
yang diperintahkan undangundang. Pada saat yang sama, jika ada hambatan,
mereka akan bekerja sama dalam menyelesaikannya.
Konfrontasi Sayangnya, citra ideal itu tidak terlaksana. Alih-alih
berkompetisi dalam prestasi, yang tercipta malah konfrontasi dalam
menegaskan prestasi. Alihalih bekerja sama, yang tercipta malah saling
menjatuhkan. Dalam banyak perkara, kepolisian dan kejaksaan seakan tidak
bekerja dalam konteks pemberantasan korupsi, tetapi malah memberantas
antikorupsi. Kasus cicak vs buaya yang dulu pernah muncul paling tidak
bisa merepresentasikan hal itu.
Tidak selesai di situ, dalam banyak perkara, percepatan pemberantasan
korupsi terhambat oleh ketiadaan kerelaan untuk sebuah kompetisi sehat
demi prestasi penegakan hukum.
Begitu juga untuk koordinasi. Misalnya, salah satu penyakit dalam upaya
koordinasi dan supervisi. KPK sering kali gagal melakukan koordinasi dan
supervisi karena tidak ada kerelaan dari kepolisian dan kejaksaan untuk
membuka diri dan keinginan bekerja sama dalam penegakan hukum
antikorupsi. Dalam banyak perkara, itu terjadi dengan kekerapan yang
tinggi dan belum mampu dikontrol.
Boleh jadi, al itu makin menjadi karena lembaga-lembaga yang ada sebagai
penyokong penegakan hukum malah ikut memberikan kesan konfrontasi yang
mendalam. Pernyataan keliru, dari beberapa petinggi DPR yang
berkeinginan membubarkan KPK, boleh jadi merupakan simbol ketidakpahaman
terhadap teori kompetisi dan kerja sama diba lik lembaga-lembaga penegak
hukum yang berada pada koridor yang sama.
Kepentingan politik juga merupakan distorsi model penegakan hukum yang
se harusnya berkompetisi dan pada saat yang sama harus ada kerja sama.
Para peting gi politik yang memegang kekuasaan sebagai peja bat negara
sering kali memainkan faktor kekuasaan untuk menyetir lemba ga pene gak
hu kum yang menghambat kepentingan penguasa.
Dalam kasus Nazaruddin mi salnya, tentu terjadi keanehan.
Dalam beragam kesempatan, terlihat benar jika tidak tercipta koordinasi.
Beberapa informasi kemudian tidak sampai ke KPK. Bahkan, ketika sampai,
informasi itu sering kali telat. Isi pernyataan Kapolri pun berbeda jauh
dari penyataan Menteri Hukum dan HAM yang membicarakan penjemputan
Nazaruddin di luar negeri.
Atau, ketika KPK sangat telat mengetahui Nazaruddin telah berpindah
tempat dan tidak lagi di Singapura. Boleh jadi, andai bukan pernyataan
Kemenlu Singapura yang membukanya secara terang benderang, KPK tak
kunjung diberi tahu soal perpindahan Nazaruddin, meski hal itu telah
diberitahukan kepada pemerintah Indonesia.
Kita tentunya kembali mengulang pertanyaan klasik perihal ada tidaknya
koordinasi dan kerja sama sekaligus kompetisi dalam menegakkan hukum,
jika pada saat sama yang tercipta ialah kebingungan dan ketiadaan
informasi bagi lembaga yang diidealkan bekerja untuk memberantas
korupsi. Mudah merumuskan bahwa ada yang tidak tepat dalam konteks kerja
sama dan kompetisi yang tidak sehat antarlembaga penegakan hukum. Lebih
miris lagi, kegagalan penegakan itu juga disebabkan lembaga penegakan
hukum yang tidak bekerja secara optimal, tertata, efektif, dan efisien.
Momentum perbaikan Tentu ada banyak momentum perbaikan yang bisa dilaku
kan untuk menguatkan kembali tujuan kompetisi dan kerja sama tersebut.
Dua di antaranya tentu saja momentum pergantian komisioner KPK dan
rencana revisi UU KPK yang ada saat ini.
Perihal per gantian komi sioner, tentu tidak bisa tidak dilaku kan,
sehingga ada harapan bagi komisioner baru untuk kembali memolakan model
program kerja sama dan tata kelola kompetisi antarlembaga penegak hukum.
Meski KPK memang ditahbiskan sebagai leading sector penegakan hukum
antikorupsi, bukan berarti mereka tidak punya kewajiban membentuk pola
kerja sama yang baik dengan lembaga penegak hukum lainnya. Dari segi
sumber daya, KPK bisa kita katakan seba gai lembaga luar biasa dengan
kemampuan kelembagaan yang terbatas. Mustahil ra sanya berharap pada KPK
semata, tanpa mendo rong per baikan pada kejaksaan dan kepolisian.
Sebab, dalam konsep kerja sama dan kompetisi, mereka harus bekerja sama
untuk saling menguatkan dan berkompetisi untuk menyelesaikan semua
persoalan korupsi yang ada.
Pergantian komisioner bisa menjadi momentum perbaikan hal-hal yang belum
terkelola dengan baik. Karenanya, Pansel KPK pun harus membacanya secara
jeli untuk memilih orang yang mampu mengawal pola kerja sama tersebut.
Namun, hal itu bukan berarti diterjemahkan dengan meloloskan kandidat
kejaksaan dan kepolisian untuk komisioner KPK, melainkan harus
diterjemahkan sebagai pemilihan orang yang pas dalam kerangka membangun
kompetisi dan kerja sama antarlembaga. Hal yang mustahil dilupakan ialah
momentum perubahan UU KPK. Jika memang harus dilaksanakan sebagai bagian
dari upaya sinkronisasi semua aturan penegakan hukum antikorupsi,
perbaikan menuju ke arah kompetisi dan kerja sama yang baik harus
diupayakan secara maksimal.
Independensi penyidik KPK sangatlah penting. Hal tersebut menjadi
prasyarat mutlak bagi terciptanya kerja sama antarlembaga yang
diinginkan dalam kewenang an koordinasi dan supervisi.
Namun, lagi-lagi keduanya punya peluang terbajak oleh kekuatan politik.
Seleksi komisioner berpeluang terbajak oleh kekuatan politik melalui fit
and proper test. Kita sering kali khawatir dengan DPR yang bukannya
memilih kandidat yang terbaik dan jempolan, melainkan malah menyembelihnya.
Begitu juga upaya revisi UU KPK.
Ada kekhawatiran besar bila kekuatan politik bukannya mengagregasi
fungsi dan daya jelajah KPK, melainkan malah menjinakkan kewenangan KPK.
Karena itu, kerja keras tetap harus dilakukan. Publik harus mengawal
proses seleksi yang dilakukan KPK maupun proses amendemen UU KPK. Dari
situ, harapan terciptanya tujuan dari kompetisi dan kerja sama
antarlembaga penegak hukum dalam menegakkan hukum antikorupsi akan
terlaksana. Bila hal tersebut gagal dilakukan, tentu saja akan menjadi
penanda bahwa kita makin terpuruk dalam citra penegakan hukum.
=Zainal Arifin Mochtar Pengajar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum UGM
Yogyakarta dan Direktur Pukat Korupsi FH UGM Yogyakartagn
Cacat Konstitusionalisme Kita
Oleh Zainal Arifin Mochtar, Direktur PUKAT korupsi UGM:
Bruce Ackerman (1991) membagi sifat konstitusi yang dapat menyokong kehidupan demokrasi menjadi dua yang sangat distingsif, yakni sifat konstitusi yang berasal dari rakyat (by people) dan dari pemerintahan (by government). Keduanya punya cara tersendiri. Gaya rakyat adalah aspirasi, sedangkan gaya pemerintahan adalah instruksi. Artinya, kehidupan konstitusi yang ideal itu sendiri merupakan abstraksi dari cara berpikir rakyat dan pemerintahan sehingga juga merupakan gabungan antara aspirasi dan instruksi. Sepanjang tahun 2005, Indonesia lebih banyak menampilkan wajah konstitusionalisme by government dibanding konstitusionalisme by people. Tiga cabang kekuasaan pemerintahan negara, yakni eksekutif, legislatif, dan judisial, lebih banyak berpikir secara instruksi dibanding berpikir secara aspirasi sehingga kebijakan pemerintahan lebih banyak merupakan hasil "berbicara" top-down daripada "mendengarkan" bottom-up.Tragedi kenaikan harga BBM merupakan abstraksi paling nyata dari konstitusionalisme oleh pemerintahan tersebut. Harga BBM dinaikkan oleh beleid pemerintah yang ditanggapi diam oleh DPR. DPR lebih memilih "kasak-kusuk" mencari kenaikan tunjangan dibanding memperjuangkan aspirasi rakyat. Mahkamah Agung (MA) juga menyerahkan sepenuhnya keputusan yang berimplikasi pada rakyat tersebut kepada pemerintah. Akhirnya, keputusan pemerintah menjadi sabda di tengah teriakan rakyat. Instruksi lebih kuat dibanding aspirasi. Akhirnya, rakyat menjerit dengan kenaikan tersebut. Mahkamah Konstitusi (MK) juga ikut menyumbang pada ketidakimbangan sifat konstitusionalisme pemerintahan dan konstitusionalisme rakyat. Contohnya, ketika MK memberikan putusan mengenai privatisasi terhadap sumber daya air. Meskipun para hakim mengakui realitas air sebagai hak yang seharusnya dijaminkan konstitusi, putusan telah berkata lain. Keinginan pemerintahan untuk mem-privatkan sektor sumber daya air lebih dominan dibanding aspirasi rakyat menolak hal tersebut. Putusan MK "pro" pada keinginan pemerintahan. Akhirnya, privatisasi di sektor sumber daya air malah mengancam jaminan hak masyarakat atas air.
Penafsiran Konstitusi
Konstitusi sesungguhnya adalah teks mati yang kemudian diberi arti melalui penafsiran terhadapnya. Penafsiran tersebut dalam wujud kehidupan tata negara. Ia menuju ke konstitusi rakyat atau menuju ke konstitusi pemerintahan adalah merupakan hasil penafsiran konstitusi. Ketika para pelaku ketatanegaraan berpikir dengan cara perintah dibanding aspirasi saat menafsirkan konstitusi, maka pada saat itu pula tercipta konstitusi pemerintahan. Kehidupan konstitusionalisme Indonesia saat ini telah dipengaruhi dua hal utama. Pertama, praktik ketatanegaraan yang digariskan konstitusi dan yang kedua tafsiran MK terhadap konstitusi itu sendiri. Malangnya, pada kedua hal tersebut, rakyat tidak diberi tempat dan porsi yang memadai. Hal itu sangat jauh berbeda dengan konstitusionalisme yang ideal dalam pandangan Mark Tushnet (1999), sebagai konstitusi yang dapat memberikan peran yang lapang bagi fungsi konstitutif pada konstituen (rakyat). Hanya memberikan peran yang besar pada gaya pemerintahan adalah cacat dalam konsep konstitusionalisme. Artinya, harus ada pertemuan peran yang baik antara fungsi kebijakan pemerintahan dan keinginan rakyat. Sebuah bangunan konstitusionalisme yang lebih populis.
Konstitusionalisme Populis
Melihat rumusan konstitusi kita, ada dua cara yang bisa dilakukan untuk menggagas konstitusionalisme populis tersebut. Pertama, melakukan amandemen kelima konstitusi Indonesia. Empat perubahan sebelumnya memperlihatkan perubahan yang belum selesai dan membawa masalah. Misalnya saja, pergeseran Pasal 33 dan 34 UUD 1945. Pasal 33 yang dulunya berbicara dengan judul "Kesejahteraan Sosial", pasca perubahan digabung dengan Pasal 34 dengan judul "Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial". Artinya, pasca perubahan, aturan mengenai "bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya..." bukan lagi demi kesejahteraan sosial semata, tapi juga diakui sebagai alat perekonomian nasional sehingga layak diperjualbelikan. Privatisasi yang dilakukan pada sektor ketenagalistrikan dan sumber daya air serta menuai banyak kritikan juga adalah konsekuensi pergeseran pasal itu pada amandemen konstitusi Indonesia. Lain hal adalah ketidakjelasan mengenai status lembaga negara. Penelitian yang dilakukan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) mengenai "Lembaga Negara dan Sengketa Lembaga Negara" (KRHN, 2005) memperlihatkan betapa aturan mengenai lembaga negara yang tercantum dalam UUD 1945 terlihat terlalu "liar" dan tidak tertata. Pada akhirnya, ini akan menjadi kerepotan tersendiri ketika sudah terjadi silang sengketa antarlembaga negara.Amandemen yang dilakukan harus dapat memasukkan beberapa unsur aspiratif yang lebih luas dan dapat melibatkan rakyat secara langsung. Tentu saja, ini akan menjadi tugas yang berat, apalagi mekanisme yang tersedia dan peta politis membuat proses amandemen kelima ini akan tidak mudah. Kedua, berharap pada MK. Jika ini diserahkan MK, maka MK harus mendekatkan sifat aspiratif dalam putusannya. MK juga harus membawa kehendak rakyat ke dalam putusannya, bukan sekadar berdasar teori ilmu hukum yang dianut para hakim. Konstitusi sebaiknya tidak diterjemahkan ke dalam gaya the pure theory of law a la Hans Kelsen, namun sebaiknya diterjemahkan dengan memasukkan unsur sosiologis masyarakat Indonesia.Karena itu, jika bangunan konstitusionalisme populis tersebut ingin diserahkan kepada MK, pekerjaan rumah pertama yang harus dilakukan MK adalah keluar dari belenggu penafsiran normatif dan positivisme hukum. Keluar dari kungkungan kaku ilmu hukum yang sering sangat "buta" pada aspirasi dan sering gagal memberikan tempat pada keinginan masyarakat. MK harus mengingat bahwa konstituen merupakan konstitusi hidup yang ikut memaknai konstitusi suatu negara.
Menuju Populis
Konstitusionalisme pemerintahan sudah saatnya ditinggalkan. Pelibatan seluruh rakyat harus menjadi angenda pemerintahan ke depan. Sudah terlalu lama konstitusionalisme yang nirpartisipatif dibangun oleh praktik ketatanegaraan kita. Cacat konstitusionalisme harus segera diperbaiki. Caranya, tentu saja dengan mengadopsi satu atau keduanya sekaligus, di antara amandemen kelima konstitusi atau mengandalkan MK untuk memberikan penjiwaan populis terhadap konstitusionalisme Indonesia. Namun, apa pun jalan yang dipilih, konstitusionalisme populis haruslah mendapatkan tempat utama, sebagai konstitusionalisme by people dan by government yang dapat menyokong kehidupan demokratis.
Bruce Ackerman (1991) membagi sifat konstitusi yang dapat menyokong kehidupan demokrasi menjadi dua yang sangat distingsif, yakni sifat konstitusi yang berasal dari rakyat (by people) dan dari pemerintahan (by government). Keduanya punya cara tersendiri. Gaya rakyat adalah aspirasi, sedangkan gaya pemerintahan adalah instruksi. Artinya, kehidupan konstitusi yang ideal itu sendiri merupakan abstraksi dari cara berpikir rakyat dan pemerintahan sehingga juga merupakan gabungan antara aspirasi dan instruksi. Sepanjang tahun 2005, Indonesia lebih banyak menampilkan wajah konstitusionalisme by government dibanding konstitusionalisme by people. Tiga cabang kekuasaan pemerintahan negara, yakni eksekutif, legislatif, dan judisial, lebih banyak berpikir secara instruksi dibanding berpikir secara aspirasi sehingga kebijakan pemerintahan lebih banyak merupakan hasil "berbicara" top-down daripada "mendengarkan" bottom-up.Tragedi kenaikan harga BBM merupakan abstraksi paling nyata dari konstitusionalisme oleh pemerintahan tersebut. Harga BBM dinaikkan oleh beleid pemerintah yang ditanggapi diam oleh DPR. DPR lebih memilih "kasak-kusuk" mencari kenaikan tunjangan dibanding memperjuangkan aspirasi rakyat. Mahkamah Agung (MA) juga menyerahkan sepenuhnya keputusan yang berimplikasi pada rakyat tersebut kepada pemerintah. Akhirnya, keputusan pemerintah menjadi sabda di tengah teriakan rakyat. Instruksi lebih kuat dibanding aspirasi. Akhirnya, rakyat menjerit dengan kenaikan tersebut. Mahkamah Konstitusi (MK) juga ikut menyumbang pada ketidakimbangan sifat konstitusionalisme pemerintahan dan konstitusionalisme rakyat. Contohnya, ketika MK memberikan putusan mengenai privatisasi terhadap sumber daya air. Meskipun para hakim mengakui realitas air sebagai hak yang seharusnya dijaminkan konstitusi, putusan telah berkata lain. Keinginan pemerintahan untuk mem-privatkan sektor sumber daya air lebih dominan dibanding aspirasi rakyat menolak hal tersebut. Putusan MK "pro" pada keinginan pemerintahan. Akhirnya, privatisasi di sektor sumber daya air malah mengancam jaminan hak masyarakat atas air.
Penafsiran Konstitusi
Konstitusi sesungguhnya adalah teks mati yang kemudian diberi arti melalui penafsiran terhadapnya. Penafsiran tersebut dalam wujud kehidupan tata negara. Ia menuju ke konstitusi rakyat atau menuju ke konstitusi pemerintahan adalah merupakan hasil penafsiran konstitusi. Ketika para pelaku ketatanegaraan berpikir dengan cara perintah dibanding aspirasi saat menafsirkan konstitusi, maka pada saat itu pula tercipta konstitusi pemerintahan. Kehidupan konstitusionalisme Indonesia saat ini telah dipengaruhi dua hal utama. Pertama, praktik ketatanegaraan yang digariskan konstitusi dan yang kedua tafsiran MK terhadap konstitusi itu sendiri. Malangnya, pada kedua hal tersebut, rakyat tidak diberi tempat dan porsi yang memadai. Hal itu sangat jauh berbeda dengan konstitusionalisme yang ideal dalam pandangan Mark Tushnet (1999), sebagai konstitusi yang dapat memberikan peran yang lapang bagi fungsi konstitutif pada konstituen (rakyat). Hanya memberikan peran yang besar pada gaya pemerintahan adalah cacat dalam konsep konstitusionalisme. Artinya, harus ada pertemuan peran yang baik antara fungsi kebijakan pemerintahan dan keinginan rakyat. Sebuah bangunan konstitusionalisme yang lebih populis.
Konstitusionalisme Populis
Melihat rumusan konstitusi kita, ada dua cara yang bisa dilakukan untuk menggagas konstitusionalisme populis tersebut. Pertama, melakukan amandemen kelima konstitusi Indonesia. Empat perubahan sebelumnya memperlihatkan perubahan yang belum selesai dan membawa masalah. Misalnya saja, pergeseran Pasal 33 dan 34 UUD 1945. Pasal 33 yang dulunya berbicara dengan judul "Kesejahteraan Sosial", pasca perubahan digabung dengan Pasal 34 dengan judul "Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial". Artinya, pasca perubahan, aturan mengenai "bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya..." bukan lagi demi kesejahteraan sosial semata, tapi juga diakui sebagai alat perekonomian nasional sehingga layak diperjualbelikan. Privatisasi yang dilakukan pada sektor ketenagalistrikan dan sumber daya air serta menuai banyak kritikan juga adalah konsekuensi pergeseran pasal itu pada amandemen konstitusi Indonesia. Lain hal adalah ketidakjelasan mengenai status lembaga negara. Penelitian yang dilakukan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) mengenai "Lembaga Negara dan Sengketa Lembaga Negara" (KRHN, 2005) memperlihatkan betapa aturan mengenai lembaga negara yang tercantum dalam UUD 1945 terlihat terlalu "liar" dan tidak tertata. Pada akhirnya, ini akan menjadi kerepotan tersendiri ketika sudah terjadi silang sengketa antarlembaga negara.Amandemen yang dilakukan harus dapat memasukkan beberapa unsur aspiratif yang lebih luas dan dapat melibatkan rakyat secara langsung. Tentu saja, ini akan menjadi tugas yang berat, apalagi mekanisme yang tersedia dan peta politis membuat proses amandemen kelima ini akan tidak mudah. Kedua, berharap pada MK. Jika ini diserahkan MK, maka MK harus mendekatkan sifat aspiratif dalam putusannya. MK juga harus membawa kehendak rakyat ke dalam putusannya, bukan sekadar berdasar teori ilmu hukum yang dianut para hakim. Konstitusi sebaiknya tidak diterjemahkan ke dalam gaya the pure theory of law a la Hans Kelsen, namun sebaiknya diterjemahkan dengan memasukkan unsur sosiologis masyarakat Indonesia.Karena itu, jika bangunan konstitusionalisme populis tersebut ingin diserahkan kepada MK, pekerjaan rumah pertama yang harus dilakukan MK adalah keluar dari belenggu penafsiran normatif dan positivisme hukum. Keluar dari kungkungan kaku ilmu hukum yang sering sangat "buta" pada aspirasi dan sering gagal memberikan tempat pada keinginan masyarakat. MK harus mengingat bahwa konstituen merupakan konstitusi hidup yang ikut memaknai konstitusi suatu negara.
Menuju Populis
Konstitusionalisme pemerintahan sudah saatnya ditinggalkan. Pelibatan seluruh rakyat harus menjadi angenda pemerintahan ke depan. Sudah terlalu lama konstitusionalisme yang nirpartisipatif dibangun oleh praktik ketatanegaraan kita. Cacat konstitusionalisme harus segera diperbaiki. Caranya, tentu saja dengan mengadopsi satu atau keduanya sekaligus, di antara amandemen kelima konstitusi atau mengandalkan MK untuk memberikan penjiwaan populis terhadap konstitusionalisme Indonesia. Namun, apa pun jalan yang dipilih, konstitusionalisme populis haruslah mendapatkan tempat utama, sebagai konstitusionalisme by people dan by government yang dapat menyokong kehidupan demokratis.
Denny Indrayana Kini Menyandang Gelar Profesor
Denny Indrayana Kini Menyandang Gelar Profesor
gelar Profesor kini melekat di depan nama Denny Indrayana. Adalah Universitas Gadjah Mada yang juga almamater Denny, yang menganugerahkan gelar tertinggi di ranah akademik ini.
Denny, yang pada 11 Desember mendatang akan berulang tahun yang ke-38 ini, resmi menyandang gelar profesor pada 1 September lalu. Denny dianugerahi gelar profesor untuk bidang hukum tata negara, yang selama ini memang digelutinya.
"Hari Rabu tanggal 22 September lalu saya mendapatkan kabar bahagia, surat keputusan guru besar saya ditandatangani dan saya resmi menjadi Profesor di bidang Hukum Tata Negara UGM per tanggal 1 Sept 2010," terang Denny yang kini menjabat sebagai Staf Khusus Presiden bidang Hukum, saat dihubungi detikcom, Selasa (28/9/2010).
Denny mengaku belum tahu kapan pengukuhan akan dilakukan. Saat ini dia mempersiapkan diri dengan menabung untuk membiayai pengukuhan itu. "Insya Allah ada rezekinya dari sumber yang halal, antikorupsi dan antimafia," imbuh Denny yang juga menjadi Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum ini.
Denny tidak ingin besar kepala dengan gelar itu, dia meminta saran dan kritik dari segenap masyarakat Indonesia. "Tolong bantu terus saya dengan doa dan ingatkan," harapnya.
Sebenarnya, lanjut Denny, bukan hanya soal gelar profesor saja yang membuatnya senang belakangan ini. Menurutnya, hal lain yang membahagiakan yakni dia akan menunaikan ibadah haji akhir tahun ini.
"Izin saya untuk naik haji akhir bulan depan dikabulkan Presiden," tutup Denny dengan bungah.
Selamat, Mas!
gelar Profesor kini melekat di depan nama Denny Indrayana. Adalah Universitas Gadjah Mada yang juga almamater Denny, yang menganugerahkan gelar tertinggi di ranah akademik ini.
Denny, yang pada 11 Desember mendatang akan berulang tahun yang ke-38 ini, resmi menyandang gelar profesor pada 1 September lalu. Denny dianugerahi gelar profesor untuk bidang hukum tata negara, yang selama ini memang digelutinya.
"Hari Rabu tanggal 22 September lalu saya mendapatkan kabar bahagia, surat keputusan guru besar saya ditandatangani dan saya resmi menjadi Profesor di bidang Hukum Tata Negara UGM per tanggal 1 Sept 2010," terang Denny yang kini menjabat sebagai Staf Khusus Presiden bidang Hukum, saat dihubungi detikcom, Selasa (28/9/2010).
Denny mengaku belum tahu kapan pengukuhan akan dilakukan. Saat ini dia mempersiapkan diri dengan menabung untuk membiayai pengukuhan itu. "Insya Allah ada rezekinya dari sumber yang halal, antikorupsi dan antimafia," imbuh Denny yang juga menjadi Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum ini.
Denny tidak ingin besar kepala dengan gelar itu, dia meminta saran dan kritik dari segenap masyarakat Indonesia. "Tolong bantu terus saya dengan doa dan ingatkan," harapnya.
Sebenarnya, lanjut Denny, bukan hanya soal gelar profesor saja yang membuatnya senang belakangan ini. Menurutnya, hal lain yang membahagiakan yakni dia akan menunaikan ibadah haji akhir tahun ini.
"Izin saya untuk naik haji akhir bulan depan dikabulkan Presiden," tutup Denny dengan bungah.
Selamat, Mas!
Jumat, 07 Oktober 2011
Daftar ipanelonline
Ipanelonline adalah Market Research International terpercaya karena termasuk dalam anggota/member ESOMAR (organisasi dunia yang menangani Market Research) yang didirikan sejak tahun 2004 di Shanghai China dan sudah mempunyai cabang di beberapa negara yaitu di HongKong, Taiwan, Japan, Singapore, Korea, India, Thailand, Malaysia, Australia, New Zealand, Philippines, Vietnam, dan juga negara kita tercinta, Indonesia.
Dengan ipanelonline ini kita bisa mendapatkan uang hanya dengan cara mengisi atau ikut serta dalam survey. setiap kali kita mengikuti survey kita akan memperoleh poin dengan jumlah tertentu, di mana dengan poin (akumulasi poin) tersebut bisa kita tukar dengan barang maupun uang. Lalu bagaimana dengan biaya pendaftaran? Biaya pendaftaran gratis alias nggak dipungut biaya.. ;D
Oh iya, jika sobat masih ragu dengan keaslian ipanelonline, silahkan di-search di Google dengan kata kunci "Bukti pembayaran ipanelonline", maka akan muncul hasil penelusuran yang sangat banyak sekali...berikut salah satu contoh bukti pembayaran yang diperoleh oleh seorang member ipanelonline dari Indonesia (screenshoot berikut diperoleh dalam sehari)
Dengan ipanelonline ini kita bisa mendapatkan uang hanya dengan cara mengisi atau ikut serta dalam survey. setiap kali kita mengikuti survey kita akan memperoleh poin dengan jumlah tertentu, di mana dengan poin (akumulasi poin) tersebut bisa kita tukar dengan barang maupun uang. Lalu bagaimana dengan biaya pendaftaran? Biaya pendaftaran gratis alias nggak dipungut biaya.. ;D
Oh iya, jika sobat masih ragu dengan keaslian ipanelonline, silahkan di-search di Google dengan kata kunci "Bukti pembayaran ipanelonline", maka akan muncul hasil penelusuran yang sangat banyak sekali...berikut salah satu contoh bukti pembayaran yang diperoleh oleh seorang member ipanelonline dari Indonesia (screenshoot berikut diperoleh dalam sehari)
1USD=Rp.10.0000 10USD=Rp.100.000
minimal Rp.100.000 perhari Wao...banyak sekali ya...
minimal Rp.100.000 perhari Wao...banyak sekali ya...
Bagi sobat-sobat yang tertarik untuk bergabung dengan ipanelonline, silahkan ikuti langkah2 berikut:
1. klik link http://id.ipanelonline.com/register.html?inviter_id=1078182
2. Silahkan isi formulir yang ada dengan benar. Jika bisa, isilah dengan data asli sobat, karena itu lebih baik.
3. Silahkan buka email sobat, dan carilah email dari ipanelonline untuk melakukan konfirmasi
4. Seperti biasa, klik link yang berada di dalam email konfirmasi tersebut
5. Jika sudah, silahkan login ke akun ipanel anda
6. Untuk mendapatkan poin yang selanjutnya bisa diuangkan, sobat harus melakukan survey melalui menu berikut (perhatikan bagian yang saya tandai)
3. Silahkan buka email sobat, dan carilah email dari ipanelonline untuk melakukan konfirmasi
4. Seperti biasa, klik link yang berada di dalam email konfirmasi tersebut
5. Jika sudah, silahkan login ke akun ipanel anda
6. Untuk mendapatkan poin yang selanjutnya bisa diuangkan, sobat harus melakukan survey melalui menu berikut (perhatikan bagian yang saya tandai)
7. Klik pada bagian yang telah saya tandai (survei bisnis) maka nanti sobat akan dibawa ke halaman survey. Untuk memulai survey, silahkan untuk mengklik link survey yang memiliki tombol "ongoing" (khusus link survey yang ditandai dengan tombol "suspended", itu artinya sudah tidak tersedia untuk disurvey oleh kita)