Oleh Zainal Arifin Mochtar, Direktur PUKAT korupsi UGM:
Bruce Ackerman (1991) membagi sifat konstitusi yang dapat menyokong kehidupan demokrasi menjadi dua yang sangat distingsif, yakni sifat konstitusi yang berasal dari rakyat (by people) dan dari pemerintahan (by government). Keduanya punya cara tersendiri. Gaya rakyat adalah aspirasi, sedangkan gaya pemerintahan adalah instruksi. Artinya, kehidupan konstitusi yang ideal itu sendiri merupakan abstraksi dari cara berpikir rakyat dan pemerintahan sehingga juga merupakan gabungan antara aspirasi dan instruksi. Sepanjang tahun 2005, Indonesia lebih banyak menampilkan wajah konstitusionalisme by government dibanding konstitusionalisme by people. Tiga cabang kekuasaan pemerintahan negara, yakni eksekutif, legislatif, dan judisial, lebih banyak berpikir secara instruksi dibanding berpikir secara aspirasi sehingga kebijakan pemerintahan lebih banyak merupakan hasil "berbicara" top-down daripada "mendengarkan" bottom-up.Tragedi kenaikan harga BBM merupakan abstraksi paling nyata dari konstitusionalisme oleh pemerintahan tersebut. Harga BBM dinaikkan oleh beleid pemerintah yang ditanggapi diam oleh DPR. DPR lebih memilih "kasak-kusuk" mencari kenaikan tunjangan dibanding memperjuangkan aspirasi rakyat. Mahkamah Agung (MA) juga menyerahkan sepenuhnya keputusan yang berimplikasi pada rakyat tersebut kepada pemerintah. Akhirnya, keputusan pemerintah menjadi sabda di tengah teriakan rakyat. Instruksi lebih kuat dibanding aspirasi. Akhirnya, rakyat menjerit dengan kenaikan tersebut. Mahkamah Konstitusi (MK) juga ikut menyumbang pada ketidakimbangan sifat konstitusionalisme pemerintahan dan konstitusionalisme rakyat. Contohnya, ketika MK memberikan putusan mengenai privatisasi terhadap sumber daya air. Meskipun para hakim mengakui realitas air sebagai hak yang seharusnya dijaminkan konstitusi, putusan telah berkata lain. Keinginan pemerintahan untuk mem-privatkan sektor sumber daya air lebih dominan dibanding aspirasi rakyat menolak hal tersebut. Putusan MK "pro" pada keinginan pemerintahan. Akhirnya, privatisasi di sektor sumber daya air malah mengancam jaminan hak masyarakat atas air.
Penafsiran Konstitusi
Konstitusi sesungguhnya adalah teks mati yang kemudian diberi arti melalui penafsiran terhadapnya. Penafsiran tersebut dalam wujud kehidupan tata negara. Ia menuju ke konstitusi rakyat atau menuju ke konstitusi pemerintahan adalah merupakan hasil penafsiran konstitusi. Ketika para pelaku ketatanegaraan berpikir dengan cara perintah dibanding aspirasi saat menafsirkan konstitusi, maka pada saat itu pula tercipta konstitusi pemerintahan. Kehidupan konstitusionalisme Indonesia saat ini telah dipengaruhi dua hal utama. Pertama, praktik ketatanegaraan yang digariskan konstitusi dan yang kedua tafsiran MK terhadap konstitusi itu sendiri. Malangnya, pada kedua hal tersebut, rakyat tidak diberi tempat dan porsi yang memadai. Hal itu sangat jauh berbeda dengan konstitusionalisme yang ideal dalam pandangan Mark Tushnet (1999), sebagai konstitusi yang dapat memberikan peran yang lapang bagi fungsi konstitutif pada konstituen (rakyat). Hanya memberikan peran yang besar pada gaya pemerintahan adalah cacat dalam konsep konstitusionalisme. Artinya, harus ada pertemuan peran yang baik antara fungsi kebijakan pemerintahan dan keinginan rakyat. Sebuah bangunan konstitusionalisme yang lebih populis.
Konstitusionalisme Populis
Melihat rumusan konstitusi kita, ada dua cara yang bisa dilakukan untuk menggagas konstitusionalisme populis tersebut. Pertama, melakukan amandemen kelima konstitusi Indonesia. Empat perubahan sebelumnya memperlihatkan perubahan yang belum selesai dan membawa masalah. Misalnya saja, pergeseran Pasal 33 dan 34 UUD 1945. Pasal 33 yang dulunya berbicara dengan judul "Kesejahteraan Sosial", pasca perubahan digabung dengan Pasal 34 dengan judul "Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial". Artinya, pasca perubahan, aturan mengenai "bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya..." bukan lagi demi kesejahteraan sosial semata, tapi juga diakui sebagai alat perekonomian nasional sehingga layak diperjualbelikan. Privatisasi yang dilakukan pada sektor ketenagalistrikan dan sumber daya air serta menuai banyak kritikan juga adalah konsekuensi pergeseran pasal itu pada amandemen konstitusi Indonesia. Lain hal adalah ketidakjelasan mengenai status lembaga negara. Penelitian yang dilakukan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) mengenai "Lembaga Negara dan Sengketa Lembaga Negara" (KRHN, 2005) memperlihatkan betapa aturan mengenai lembaga negara yang tercantum dalam UUD 1945 terlihat terlalu "liar" dan tidak tertata. Pada akhirnya, ini akan menjadi kerepotan tersendiri ketika sudah terjadi silang sengketa antarlembaga negara.Amandemen yang dilakukan harus dapat memasukkan beberapa unsur aspiratif yang lebih luas dan dapat melibatkan rakyat secara langsung. Tentu saja, ini akan menjadi tugas yang berat, apalagi mekanisme yang tersedia dan peta politis membuat proses amandemen kelima ini akan tidak mudah. Kedua, berharap pada MK. Jika ini diserahkan MK, maka MK harus mendekatkan sifat aspiratif dalam putusannya. MK juga harus membawa kehendak rakyat ke dalam putusannya, bukan sekadar berdasar teori ilmu hukum yang dianut para hakim. Konstitusi sebaiknya tidak diterjemahkan ke dalam gaya the pure theory of law a la Hans Kelsen, namun sebaiknya diterjemahkan dengan memasukkan unsur sosiologis masyarakat Indonesia.Karena itu, jika bangunan konstitusionalisme populis tersebut ingin diserahkan kepada MK, pekerjaan rumah pertama yang harus dilakukan MK adalah keluar dari belenggu penafsiran normatif dan positivisme hukum. Keluar dari kungkungan kaku ilmu hukum yang sering sangat "buta" pada aspirasi dan sering gagal memberikan tempat pada keinginan masyarakat. MK harus mengingat bahwa konstituen merupakan konstitusi hidup yang ikut memaknai konstitusi suatu negara.
Menuju Populis
Konstitusionalisme pemerintahan sudah saatnya ditinggalkan. Pelibatan seluruh rakyat harus menjadi angenda pemerintahan ke depan. Sudah terlalu lama konstitusionalisme yang nirpartisipatif dibangun oleh praktik ketatanegaraan kita. Cacat konstitusionalisme harus segera diperbaiki. Caranya, tentu saja dengan mengadopsi satu atau keduanya sekaligus, di antara amandemen kelima konstitusi atau mengandalkan MK untuk memberikan penjiwaan populis terhadap konstitusionalisme Indonesia. Namun, apa pun jalan yang dipilih, konstitusionalisme populis haruslah mendapatkan tempat utama, sebagai konstitusionalisme by people dan by government yang dapat menyokong kehidupan demokratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar